Kehidupan Sebagai non-Muslim
SAYA ingat sepanjang masa kecil saya. Orang tua selalu berjuang atas masalah uang, situasi hidup dan sejenisnya.
Saya ingat, saat itu saya tinggal di rumah-rumah proyek di sisi
Central South of Chicago dengan keadaan yang sangat memprihatinkan,
sehingga hampir tidak bisa menemukan sesuatu pun untuk dimakan.
Dengan jumlah anggota keluarga 10 orang, sangat sulit bagi ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga sebaik mungkin.
Broken Home
Ayah saya adalah seorang pekerja keras, meskipun ia seorang peminum
berat dan sering memukuli ibu saya, tetapi saya masih mencintai ayah.
Ayah saya berasal dari Irlandia dan Jerman.
Setiap kali dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk atau hanya marah
tentang sesuatu kepada saya dan adik saya, kemudian ayah berbaring di
atas kami sampai ia menyadari apa yang dilakukan.
Banyak sekali kekerasan yang saya alami, bahkan saya pernah tidak
bisa berjalan dan bernapas karena semua pukulan yang saya terima dari
ayah. Tentu saja saya menjadi orang pertama yang mendapat pukulan ayah,
karena saya adalah anak tertua, kadang-kadang ayah juga menyuruh setiap
saudara saya untuk memukuli saya juga. Ini adalah sebagian besar dari
masa kecil yang saya alami.
Kemudian datang masa remaja. Dengan segala sesuatu yang telah terjadi
di sekitar saya, seperti pacar, teman kencan, boozing, bar,
obat-obatan, dll. Saya tidak bisa membiarkan diri saya menjadi bagian
dari semua itu. Saya hanya merasa itu tidak benar.
Adik saya adalah salah satu pengedar narkoba terbesar di Chicago.
Setiap hari ia akan membawa pulang obat terlarang itu untuk dijual
secara lokal.
Adik saya tahu pandangan saya tentang seluruh ide, pernah satu hari
ketika adik saya meninggalkan obat terlarang itu di rumah, saya
mengambilnya sekitar $ 1,000 obat dan membuangnya ke toilet. Ketika ia
menyadari obat terlarangnya hilang, dia langsung menanyakannya kepada
saya, akan tetapi saya selalu bersumpah tidak mengambil obat
terlarangnya itu, saat itu adik saya ingin membunuh saya, jika ia
memiliki kesempatan, pasti saya sudah mati di tangannya. Tentu saja saya
adalah orang yang benar, kemudian orang tua saya membawa adik saya
keluar, karena saya lebih tua, saya harus mengajarinya menjadi manusia
yang lebih baik.
Tidak Ingin Mati Sebagai Orang Bodoh
Yang membuat saya menyadari betapa hidup saya sangat rapuh adalah
saya tidak ingin mati menjadi orang bodoh, jadi saya mulai belajar apa
saja. Saya tidak bisa berpaling dari buku.
Anda harus menyadari sesuatu tentang keluarga saya, mereka sangat
kompetitif terhadap satu sama lain. Begitu mereka melihat orang lain
maju mereka selalu ingin menghentikannya dan tidak memungkinkan untuk
pergi lebih jauh lagi.[]
BERSAMBUNG
sumber:www.islampos.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar