Bolehkah Pacaran
Alhikmah.com. Seorang ayah, bila
ia mempunyai putra yang beranjak remaja, lambat atau cepat ia akan disergap oleh pertanyaan seperti ini:
"Ayah, bolehkah berpacaran?"
Pengertian ‘berpacaran’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bercintaan, berkasih-kasihan.
Sebagai Ayah
yang baik, kita sudah seharusnya sejak
jauh hari berusaha menyiapkan jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun seringkali kita tidak siap dengan jawaban
ketika pertanyaan tadi terlontar dari
mulut anak kita.
Seorang ayah
mempunyai posisi strategis. Ayah tidak
saja menjadi pemimpin bagi keluarganya,
seorang ayah juga seharusnya bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, menjadi narasumber dan guru bagi
anak-anaknya.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertangungjawaban terhadap apa yang kamu
pimpin. Seorang suami (ayah) adalah
pemimpin bagi anggota keluarganya, dan ia akan
dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dipimpinnya
atas mereka.” (HR Muslim).
Ada sebuah
contoh yang datangnya dari keluarga Pak
Syamsi. Ketika Iwan anak remajanya
bertanya soal berpacaran, Pak Syamsi yang memang sudah sejak lama mempersiapkan diri, dengan santai memberikan
jawaban seperti ini: "Boleh nak,
sejauh berpacaran yang dimaksud adalah sebagaimana yang terjadi antara Ayah dan Bunda…"
Pak Syamsi
menjelaskan kepada Iwan, bahwa
berpacaran adalah menjalin tali kasih, menjalin
kasih sayang, dengan lawan jenis, untuk saling kenal-mengenal,
untuk sama-sama memahami kebesaran Allah
di balik tumbuhnya rasa kasih dan sayang
itu. Oleh karena itu, berpacaran adalah ibadah. Dan sebagai ibadah, berpacaran haruslah dilakukan sesuai
dengan ketentuan Allah, yaitu di dalam
lembaga perkawinan.
Di dalam sebuah Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Jangan sekali-kali seorang
laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya".
"Di luar ketentuan tadi, maka yang sesungguhnya terjadi adalah
perbuatan mendekati zina, suatu
perbuatan keji dan terkutuk yang diharamkan ajaran Islam (Qs. 17:32). Allah SWT telah mengharamkan zina dan
hal-hal yang bertendensi ke arah itu,
termasuk berupa kata-kata (yang
merangsang), berupa perbuatan-perbuatan tertentu (seperti membelai dan sebagainya)." Demikian penjelasan
Pak Syamsi kepada Iwan anak remajanya.
“Di dalam
lembaga perkawinan, ananda bisa
berpacaran dengan bebas dan tenang, bisa
saling membelai dan mengasihi, bahkan lebih jauh dari itu, yang semula haram menjadi halal setelah menikah,
yang semula diharamkan tiba-tiba menjadi
hak bagi suami atau istri yang apabila ditunaikan dengan ikhlas kepada Allah akan mendatangkan
pahala.” Demikian penjelasan pak Syamsi
kepada Iwan.
“Namun
jangan lupa,” sambung pak Syamsi, “Islam
mengajarkan dua hal yaitu memenuhi Hak dan
Kewajiban secara seimbang. Di dalam lembaga perkawinan, kita tidak saja bisa mendapatkan hak-hak kita sebagai
suami atau isteri, namun juga dituntut
untuk memenuhi kewajiban, menafkahi dengan layak, memberi tempat bernaung yang layak, dan yang
terpenting adalah memberi pendidikan
yang layak bagi anak-anak kelak…”
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang yang membina anaknya adalah
lebih baik daripada ia bersedekah satu sha’…” (HR At-Tirmidzy).
“Nah,
apabila ananda sudah merasa mampu
memenuhi kedua hal tadi, yaitu hak dan kewajiban yang seimbang, maka segeralah susun sebuah rencana
berpacaran yang baik di dalam sebuah
lembaga perkawinan yang dicontohkan Rasulullah…” Demikian imbuh pak Syamsi.
Seringkali
kita sebagai orangtua tidak mampu
bersikap tegas di dalam menyampaikan ajaran
Islam, terutama yang sangat berhubungan dengan perkembangan psikoseksual remaja. Seringkali kita 'malu'
menyampaikan kebenaran yang merupakan
kewajiban kita untuk menyampaikannya, sekaligus
merupakan hak anak untuk mengetahuinya.
Sebagai
anak, seorang Iwan memang harus
mempunyai tempat yang cukup layak untuk menumpahkan aneka pertanyaannya. Sebagai lelaki muda,
yang ia butuhkan adalah sosok ayah yang
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan
cerdas, memuaskan, dan tepat. Seorang ayah yang mampu menjawab pertanyaan bukan dengan marah-marah. Berapa
banyak remaja seperti Iwan diantara kita
yang tidak punya tempat bertanya yang cukup
layak?
Bagi seorang
Iwan, sebagaimana dia melihat kenyataan
yang terjadi di depan matanya,
berpacaran adalah memadu kasih diantara dua jenis kelamin yang berbeda, sebuah ajang penjajagan, saling
kenal diantara dua jenis kelamin
berbeda, antara remaja putra dengan remaja putri, yang belum tentu bermuara ke dalam lembaga perkawinan.
Hampir tak ada seorang pun remaja
seperti Iwan yang mau menyadari, bahwa perilaku seperti itu adalah upaya-upaya mendekati zina, bahkan
zina itu sendiri!
Celakanya,
hanya sedikit saja diantara orangtua
yang mau bersikap tegas terhadap perilaku
seperti ini. Bahkan,
seringkali sebagian dari orangtua kita justru merasa malu jika anaknya yang sudah menginjak usia remaja
belum juga punya pacar. Sebaliknya,
begitu banyak orangtua yang merasa bangga jika
mengetahui anaknya sudah punya pacar. "Berapa banyak kejahatan
yang telah kita buat secara terang-terangan…?"
Di sebuah stasiun
televisi swasta, ada program yang
dirancang untuk mempertemukan dua remaja
berlawanan jenis untuk kelak menjadi pacar. Di stasiun teve lainnya ada sebuah program berpacaran (dalam artian
perbuatan mendekati zina) yang justru
diasosiasikan dengan heroisme, antara lain dengan menyebut para pelakunya (para pemburu pacar)
sebagai “pejuang”. Dan bahkan para
“pejuang” ini mendapat hadiah berupa uang tunai yang menggiurkan anak-anak remaja. Perilaku para
“pejuang” ini disaksikan oleh banyak
remaja, sehingga menjadi contoh bagi
mereka.
Makna pejuang telah bergeser
jauh dari tempatnya semula. Seseorang yang melakukan perbuatan mendekati zina disebut “pejuang”. Hampir
tidak pernah kita mendengar ada seorang
pelajar yang berprestasi disebut pejuang. Jarang kita dengar seorang atlet berprestasi disebut pejuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar