SATU TEMPAT CARI TIKET PESAWAT DAN KERETA API MURAH

Jumat, 26 Juli 2013

Pengertian dan Aturan Pacaran

Bolehkah Pacaran

Alhikmah.com. Seorang ayah, bila  ia mempunyai putra yang beranjak remaja, lambat atau cepat ia akan  disergap oleh pertanyaan seperti ini: "Ayah, bolehkah berpacaran?"  Pengertian ‘berpacaran’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah  bercintaan, berkasih-kasihan.

Sebagai Ayah yang baik, kita  sudah seharusnya sejak jauh hari berusaha menyiapkan jawaban  terhadap pertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun  seringkali kita tidak siap dengan jawaban ketika pertanyaan tadi  terlontar dari mulut anak kita.

Seorang ayah mempunyai  posisi strategis. Ayah tidak saja menjadi pemimpin bagi keluarganya,  seorang ayah juga seharusnya bisa menjadi teman bagi anak-anaknya,  menjadi narasumber dan guru bagi anak-anaknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:  “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai  pertangungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang suami  (ayah) adalah pemimpin bagi anggota keluarganya, dan ia akan  dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dipimpinnya atas  mereka.” (HR Muslim).

Ada sebuah contoh yang  datangnya dari keluarga Pak Syamsi. Ketika Iwan anak remajanya  bertanya soal berpacaran, Pak Syamsi yang memang sudah sejak lama  mempersiapkan diri, dengan santai memberikan jawaban seperti ini:  "Boleh nak, sejauh berpacaran yang dimaksud adalah sebagaimana yang  terjadi antara Ayah dan Bunda…"

Pak Syamsi menjelaskan  kepada Iwan, bahwa berpacaran adalah menjalin tali kasih, menjalin  kasih sayang, dengan lawan jenis, untuk saling kenal-mengenal, untuk  sama-sama memahami kebesaran Allah di balik tumbuhnya rasa kasih dan  sayang itu. Oleh karena itu, berpacaran adalah ibadah. Dan sebagai  ibadah, berpacaran haruslah dilakukan sesuai dengan ketentuan Allah,  yaitu di dalam lembaga perkawinan.

 Di dalam sebuah Hadits Shahih Riwayat Ahmad,  Bukhari  dan Muslim,  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan  sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan  seorang perempuan, melainkan  si perempuan itu bersama mahramnya".

 "Di luar ketentuan tadi,  maka yang sesungguhnya terjadi adalah perbuatan mendekati zina,  suatu perbuatan keji dan terkutuk yang diharamkan ajaran Islam (Qs.  17:32). Allah SWT telah mengharamkan zina dan hal-hal yang  bertendensi ke arah itu, termasuk berupa kata-kata (yang  merangsang), berupa perbuatan-perbuatan tertentu (seperti membelai  dan sebagainya)." Demikian penjelasan Pak Syamsi kepada Iwan anak  remajanya.

“Di dalam lembaga  perkawinan, ananda bisa berpacaran dengan bebas dan tenang, bisa  saling membelai dan mengasihi, bahkan lebih jauh dari itu, yang  semula haram menjadi halal setelah menikah, yang semula diharamkan  tiba-tiba menjadi hak bagi suami atau istri yang apabila ditunaikan  dengan ikhlas kepada Allah akan mendatangkan pahala.” Demikian  penjelasan pak Syamsi kepada Iwan.

“Namun jangan lupa,” sambung  pak Syamsi, “Islam mengajarkan dua hal yaitu memenuhi Hak dan  Kewajiban secara seimbang. Di dalam lembaga perkawinan, kita tidak  saja bisa mendapatkan hak-hak kita sebagai suami atau isteri, namun  juga dituntut untuk memenuhi kewajiban, menafkahi dengan layak,  memberi tempat bernaung yang layak, dan yang terpenting adalah  memberi pendidikan yang layak bagi anak-anak  kelak…”

Rasulullah shallallahu  'alaihi wa sallam bersabda: “Seorang yang membina anaknya adalah  lebih baik daripada ia bersedekah satu sha’…” (HR  At-Tirmidzy).

“Nah, apabila ananda sudah  merasa mampu memenuhi kedua hal tadi, yaitu hak dan kewajiban yang  seimbang, maka segeralah susun sebuah rencana berpacaran yang baik  di dalam sebuah lembaga perkawinan yang dicontohkan Rasulullah…”  Demikian imbuh pak Syamsi.

Seringkali kita sebagai  orangtua tidak mampu bersikap tegas di dalam menyampaikan ajaran  Islam, terutama yang sangat berhubungan dengan perkembangan  psikoseksual remaja. Seringkali kita 'malu' menyampaikan kebenaran  yang merupakan kewajiban kita untuk menyampaikannya, sekaligus  merupakan hak anak untuk mengetahuinya.

Sebagai anak, seorang Iwan  memang harus mempunyai tempat yang cukup layak untuk menumpahkan  aneka pertanyaannya. Sebagai lelaki muda, yang ia butuhkan adalah  sosok ayah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan  cerdas, memuaskan, dan tepat. Seorang ayah yang mampu menjawab  pertanyaan bukan dengan marah-marah. Berapa banyak remaja seperti  Iwan diantara kita yang tidak punya tempat bertanya yang cukup  layak?

Bagi seorang Iwan,  sebagaimana dia melihat kenyataan yang terjadi di depan matanya,  berpacaran adalah memadu kasih diantara dua jenis kelamin yang  berbeda, sebuah ajang penjajagan, saling kenal diantara dua jenis  kelamin berbeda, antara remaja putra dengan remaja putri, yang belum  tentu bermuara ke dalam lembaga perkawinan. Hampir tak ada seorang  pun remaja seperti Iwan yang mau menyadari, bahwa perilaku seperti  itu adalah upaya-upaya mendekati zina, bahkan zina itu  sendiri!

Celakanya, hanya sedikit  saja diantara orangtua yang mau bersikap tegas terhadap perilaku  seperti ini.  Bahkan,  seringkali sebagian dari orangtua kita justru merasa malu jika  anaknya yang sudah menginjak usia remaja belum juga punya pacar.  Sebaliknya, begitu banyak orangtua yang merasa bangga jika  mengetahui anaknya sudah punya pacar. "Berapa banyak kejahatan yang  telah kita buat secara  terang-terangan…?"

Di sebuah stasiun televisi  swasta, ada program yang dirancang untuk mempertemukan dua remaja  berlawanan jenis untuk kelak menjadi pacar. Di stasiun teve lainnya  ada sebuah program berpacaran (dalam artian perbuatan mendekati  zina) yang justru diasosiasikan dengan heroisme, antara lain dengan  menyebut para pelakunya (para pemburu pacar) sebagai “pejuang”. Dan  bahkan para “pejuang” ini mendapat hadiah berupa uang tunai yang  menggiurkan anak-anak remaja. Perilaku para “pejuang” ini disaksikan  oleh banyak remaja, sehingga menjadi contoh bagi  mereka.


Makna pejuang telah bergeser  jauh dari tempatnya semula. Seseorang yang melakukan perbuatan  mendekati zina disebut “pejuang”. Hampir tidak pernah kita mendengar  ada seorang pelajar yang berprestasi disebut pejuang. Jarang kita  dengar seorang atlet berprestasi disebut  pejuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar